Bangkitnya Peradaban Eropa dan Degradasi Spiritualisme
Dinamika suatu peradaban di berbagai tempat memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Atas dasar keunikan itulah seseorang tidak tepat jika melakukan generalisasi peradaban lainnya. Banyak perbedaan-perbedaan yang nampak baik dari aspek filosofis maupun kultur yang kongkret. Selain itu, konteks waktu juga bisa menjadi catatan karena setiap masa memiliki jiwa zamannya, sehingga seseorang tidak bisa menggeneralisir peradaban tertentu dinilai harus sama sepanjang waktu.
Sejarah telah memperlihatkan bahwa ribuan tahun lalu khususnya di Asia bahkan di tempat-tempat lainnya di belahan bumi masyarakat mampu membangun peradabannya harmonis dengan aspek spiritualisme.
Lihatlah peradaban Lembah Sungai Indus, lembah sungai Eufrat dan Tingris, Lembah Sungai Nil, Lembah Sungai Huangho, dan lain sebagainya. Peradaban-peradaban tersebut mampu berjalan seiring sejalan dengan spiritualisme (baca: agama). Nafas-nafas keagaman justru menggerakan masyarakat untuk mempersembahkan karya terbaiknya (Mahakarya) yang hingga saat ini bisa disaksikan jutaan manusia modern.
Sumber : https://i.pinimg.com/originals/54/f2/49/54f2494747c04c8d65bb7289dc1a66ca.jpg |
Hal tersebut menunjukan bahwa agama bukanlah faktor penghambat bagi manusia dalam menciptakan kebudayaan. Agama adalah bagian integral dalam diri manusia yang memberikan arahan bagaimana suatu kebudayaan harus ditempatkan. Agama merupakan sumber nilai-nilai dalam memperlakukan hasil budaya.
Suatu kemustahilan suatu kebudayaan tercipta tanpa dilandasi nilai-nilai keadaban yang dijunjung tinggi. Suatu kebudayaan diciptakan akan menjadi boomerang bagi kehidupan umat manusia. Inilah yang terjadi pada manusia modern saat ini. Perkembangan IPTEK justru malah mendehumanisasi dan menyengsarakan kehidupan manusia. Dalih kebebebasan dan HAM justru melukai keharmonisan antar manusia dan alam.
Peradaban Eropa Moden Membunuh Spiritualisme
Traumatis masyarakat Eropa mengenai praktek kehidupan beragama (Abad 5-15), mendorong gerakan yang mendegradasi peran agama (Katholik) dalam ranah publik masyarakatnya.
Pengalaman buruk itu kemudian dibawa oleh orang Eropa di berbagai tempat ketika era penjelajahan dilakukan sehingga mengontaminasi kuktur masyarakat Timur yang harmonis dengan spiritualitasnya.
Semangat "Rasionalisme dan Empirisme" itu kemudian menciptakan stigma dan penghakiman atas daerah yang dikuasainya. Inilah awal mula kerusakan masyarakat Timur. Bangsa Eropa memandang masyarakat yang ditemuinya dengan kaca mata tunggal.
Bangsa Eropa tidak melihat bahwa peradaban Timur sejak ribuan tahun lalu memiliki cara pandang sendiri dalam memahami realitas. Orang Timur cendrung memiliki pandangan holistik dan menyeluruh terhadap alam semesta, di mana segala sesuatu saling terhubung dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam pandangan mereka soal agama di Asia, seperti Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme, keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan sangat dihargai. Agama-agama ini mengajarkan bahwa manusia harus hidup dengan menghormati dan berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitar mereka, serta harus hidup dalam keseimbangan dengan diri sendiri, orang lain, dan alam semesta secara keseluruhan.
Dalam masyarakat tradisional Asia, nilai-nilai ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam seni, arsitektur, tata cara bersosialisasi, dan cara-cara bertahan hidup yang ramah lingkungan. Selain itu, cara hidup yang dijalankan dalam kerangka agama, budaya, dan tradisi tersebut membantu menciptakan harmoni dalam masyarakat dan memelihara keseimbangan alam.
Spiritualitas dalam masyarakat Timur merupakan bagian integral dalam peradabanya. Bahwa perkembangan sains dan teknologi harus dibangun berdasarkan nilai-nilai keadaban agar terciptanya harmoni antar sesama manusia dan alam semesta.