Risalah Para Pengkhianat yang dikhianati
Berawal dari sakit hati lalu berbuah pengkhianatan. Itulah yang dirasakan Adipati Sumenep Arya Wiraraja. Ketajaman analisisnya mengenai potensi pemberontakan dalam negeri dimentahkan Prabu Kertanegara (1248-1268 M). Bukan saja ditolak nasehatnya, raja terakhir Singosari itu memutasinya jauh dari pusat kerajaan yakni di Sumenep.
Arya Wiraraja menerima keputusan itu meski dalam keadaan berat dan kecewa.Kertanegara tetap melanjutkan politik ekspansinya ke tanah Melayu (Ekspedisi Pamalayu tahun 1275). Baginya siapapun yang menghalangi misinya harus disingkirkan.
Ekspedisi ini harus dilakukan, atau Singosari akan dihancurkan sehancur-hancurnya oleh Mongolia. Kertanegara telah memprediksi bahwa Singosari akan menjadi target selanjutnya. Mongolia telah menguasai Cina, Persia, Tibet, Korea, India Utara dan Baghdad.
Sumber Ilustrasi : https://jejak.co/wp-content/uploads/2019/01/images4.jpg |
Bagaimanapun Kertanegara harus menggalang kekuatan dengan kerajaan Melayu. Ancaman sudah begitu dekat di depan mata. Singosari tidak akan sanggup melawan imperium Mongolia sendirian. Tapi apa mau dikata, Kertanegara sudah terlanjur melampiaskan amarahnya kepada Meng Khi sang utusan. Telinganya putus setelah membacakan surat dimuka Kertanegara agar raja itu tunduk pada Mongolia.
Mendorong Jayakatwang melakukan serangan ke Singosari
Arya wiraraja sangat mengetahui seluk-beluk kelemahan dan kelebihan Singosari. Kertanegara terlalu berani dan ambisius tanpa melihat detail kekuatan dalam negeri kerajaan. Ambisi telah melumpuhkan akal sehat Kertanegara. Arya wiraraja menyadari bahwa keamanan Singosari terancam karena sebagian besar pasukan dikerahkan ke Sumatera.
Sakit hatinya belum juga sembuh atas kebijakan Kertanegara yang congkak. Melihat kekosongan tesebut, Arya Wiraraja mengirim surat kepada Adipati Gelang-gelang Jayakatwang. Surat tersebut berisi analisis dan waktu yang tepat untuk melakukan kudeta.
Jayakatwang sendiri merupakan besan dari Kertanegara. Demi meredam konflik antar wangsa, Kertanegara mencoba mengikat tali persaudaraan dengan Jayakatwang yang berasal dari wangsa Kediri. Kertanegara menikahnya Putrinya Tribuaneswari dengan putra Jayakatwang yakni Ardharaja. Meskipun tali persaudaraan telah diikat dengan pernikahan namun dendam itu tetap membara.
Arya Wiraraja tahu bahwa Jayakatwang memiliki keinginan untuk mendirikan kembali wangsa Kediri yang telah di rebut oleh Ken Arok (Buyut Kertanegara). Keinginan itu hanya tersimpan dalam hati karena Jayakatwang tidak memiliki momentum yang tepat untuk mengambil alih kekuasaan. Pada mulanya Jayakatwang tidak yakin dengan usulan Arya Wiraraja karena sangat beresiko tinggi. Namun akhirnya Jayakatwang menuruti nasehat Adipati Sumenep itu.
Disebarlah telik sandi Gelang-gelang memastikan rencana penyerangan bisa berjalan lancar mengingat Singosari bukanlah kerajaan yang pantas disepelekan. Ardharaja yang juga merupakan menantu Kertanegara telah bersekongkol dengan para teliksandi itu. Sebuah pengkhianatan yang dilematis.
Disatu sisi ia adalah menantu Kertanegara, namun disisi lain ia juga merupakan putra Jayakatwang. Antara wangsa dan cinta bercampur menjadi satu. Seandainya kudeta ini berlangsung lancar, maka dimasa depan ia adalah pewaris sah dinasti Kediri. Ardharaja memilih meninggalkan istrinya mendukung Gelang-gelang.
Hari penyerangan itu tiba. Jayakatwang dengan pasukan Jaran Guyangnya melakukan serangan pancingan dari utara, lalu disusul dengan serangan mematikan dari Selatan Singosari. Serangan itu berhasil mengobrak abrik seisi kerajaan. Pasukan Gelang-gelang akhirnya berhasil menemukan Kertanegara yang sedang melakukan ritual dengan meminum arak. Dalam kondisi mabuk, Kertanegara berhasil dibunuh oleh Jayakatwang.
Raden Wijaya berserta pengikut setianya melarikan diri ke Sumenep. Dalam pelarian menuju Sumenep, pasukan Gelang-gelang nyaris membunuh Raden Wijaya dan keluarga. Beruntungnya Raden Wijaya dikelilingi oleh tokoh-tokoh setia dan pilih tanding seperti Lembu Sora, Ranggalawe, Nambi dan lainnya. Mereka semua adalah para pendiri Majapahit kelak yang mati secara tragis akibat fitnah. Seandainya tokoh-tokoh itu tidak menyertai Raden Wijaya dalam pelarian, bisa dipastikan Raden Wijaya beserta keluarga akan mati dilumat tentara Gelang-gelang.
Raden Wijaya sebetulnya malu menemui Arya Wiraraja. Ia memahami bahwa dimutasinya Arya Wiraraja adalah sebuah keputusan yang tidak bijaksana dari Kertanegara yang notabene adalah mertuanya sendiri. Pada mulanya ia segan menemui Adipati Sumenep itu. Akan tetapi Ranggalawe berusaha menguatkan hatinya agar tetap menemui sang Adipati yang merupakan ayakhnya sendiri.
Politik dua kaki Arya wiraraja
Dengan rasa malu dan pilu Raden Wijaya menceritakan semua kondisi yang dialaminya dihadapan Arya Wiraraja. Sang Raden tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan tokoh yang merupakan otak dibalik kehancuran Singosari. Arya Wiraraja menanggapinya dengan penuh empati bahwa semuanya adalah suratan takdir.
Arya Wiraraja menyarankan Raden Wijaya untuk kembali menemui Jayakatwang menyerahkan diri seraya meminta ampunan. Arya Wiraraja yang akan menjamin keselamatannya. Ia akan mengirimkan surat kepada Jayakatwang untuk menerima sang raden untuk mengabdi di Kediri.
Pada kesempatan ini juga antara Arya Wiraraja dan Raden Wijaya melakukan perjanjian dan persekongkolan untuk menghancurkan Jayakatwang dari dalam. Jika konspirasi ini berhasil, dan tahta kerajaan jatuh kepada Raden Wijaya, Arya Wiraraja meminta Ranggalawe (putra Arya Wiraraja) diberikan jabatan sebagai Mahapatih di kerajaan yang berdiri kelak.
Selain itu Arya Wiraraja meminta sebagian wilayah kerajaan yang akan berdiri kelak diberikan kepadanya. Dengan penuh optimisme Raden Wijaya berjanji akan memenuhi semua tuntutan itu dan berterima kasih kepada Arya Wiraraja yang telah mendukungnya. Arya Wiraraja memastikan rencana itu berhasil dan ia akan mendukung dengan segala cara. Ia merencanakan akan mengirim surat kepada Jayakatwang untuk berkenan menerima Raden Wijaya mengabdi kepada Kediri.
Raden Wijaya berhasil menemui Jayakatwang dan mendapatkan ampunannya. Meski tidak mudah menyesuaikan diri dengan elit-elit pejabat Kediri lainnya, tindak-tanduk Raden Wijaya menarik hati Jayakatwang. Dalam suatu kesempatan ia dipercaya membangun suatu tempat peristirahatan Jayakatwang di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan nama Desa Tarik.
Tanpa sepengetahuan Jayakatwang, desa tersebut digunakan secara menghimpun kekuatan. Desa tersebut terhubung dengan Arya Wiraraja di Sumenep. Setahap demi setahap desa Tarik dipersiapkan sebagai basis pertahanan. Di desa tersebut dibangun tempat-tempat pembuatan senjata, pelatihan tentara, infrastruktur eknonomi seperti pasar dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Kedatangan Mongolia di tanah Jawa
Kedatangan Mongolia merupakan suatu kepastian. Berturut-turut utusan Mongolia itu meminta Singosari untuk takluk, namun tak kunjung disambut oleh Kertangera. Justru sikapnya malah mengobarkan semangat peperangan. Situasi politik ini telah dibaca oleh Arya Wiraraja. Tidak lama lagi Mongolia akan meminta kepala Jayakatwang. Bagi Arya Wiraraja, situasi politik seperti ini tentu akan menguntungkan rencananya kelak.
Saat pasukan Mongolia tiba di Ujung Galuh (Surabaya), atas nasehat Arya Wiraraja, Raden Wijaya langsung berikirim surat dan meminta bertemu secara langsung guna menyampaikan kondisi politik di Jawa. Bahwa dirinya merupakan penerus sah Kertanegara dan telah menjadi korban kudeta oleh Jayakatwang. Raden Wijaya melobi akan bersedia diajak bekerjasama membantu pasukan Mongolia menyerang Jayakatwang. Kompensasinya Raden Wijaya menjanjikan akan mangabdi kepada Mongolia. Jawa bersedia menjadi sekutu Mongolia setelah Jayakatwang ditaklukan.
Pasukan gabungan Mongolia dan Majapahit berhasil menghancurkan benteng pertahanan Kediri. Kemenangan pasukan Mongolia dirayakan dengan pesta pora yang meriah. Mereka tidak sadar sedang dalam pantauan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya. Sebagai bentuk kegembiraan atas kemenangan Mongolia, Raden Wijaya mempersiapkan arak dosis tinggi yang dipersembahkan kepada pasukan Mongolia. Kemenangan harus benar-benar dirayakan dengan sukacita. Pasukan Mongolia benar-benar masuk dalam jebakan.
Raden Wijaya kemudian bertemu dengan Shi Pi dan Ike Mese (komandan pasukan Mongolia) meminta izin untuk pergi ke Desa Majapahit. Raden Wijaya berdalih untuk mengambil perhiasan serta gadis Singosari untuk dipersembahkan kepada kaisar Mongolia. Tanpa curiga kedua komandan itu mempersilahkan Raden Wijaya untuk mengambil segala sesuatunya untuk dipersiapkan. Bahkan mereka memberikan 200 tentara pengiring ke Desa Majapahit.
Salah satu komandan Mongolia lainnya Ghau Xing, marah besar kepada dua kerabatnya itu. Menurut Ghau Xing tindakan Shi Pi dan Ike Mese merupakan kesalahan fatal. Sebagai pasukan yang telah menguasai 3/4 dunia, tindakan kerabatnya itu tergolong sangat ceroboh karena percaya begitu saja dengan orang yang baru dikenalnya itu.
Saat memasuki desa Majapahit 200 pasukan pengiring itu diserang tanpa ada perlawanan berarti dari segala arah. Ternyata Raden Wijaya sudah mempersiapkan orang-orang Majapahit untuk menghabisi pasukan Mongolia saat dalam jamuan makan. Setelah berhasil menghabisi 200 pasukan Mongol tanpa perlawanan berarti, pasukan Majapahit dengan gerak cepat menuju Kediri dimana konsentrasi pasukan Mongol sedang berpesta pora.
Setelah sampai di pura Kediri tempat dimana pasukan Mongolia berpesta pora, serangan dadakan dilancarkan kepada pasukan Majapahit. Pasukan mongol yang tidak dalam keadaan siap itu kebingungan dan panik, tak menyangka bahwa mereka akan dikhianati oleh pasukan Majapahit.
Serangan dilancarkan secara betubi-tubi oleh pasukan Majapahit hingga memaksa pasukan Mongol meninggalkan kediri. Mereka melarikan diri ke pantai dengan menaiki kapal sekaligus membawa tawanan yang berada di dalam kapal salah satunya adalah Prabu Jayakatwang dan Ardharaja. Ike Mese, Shi Pi dan Gao Xing hanya gigit jari menerima kenyataan menyakitkan ini. Tanpa mereka antisipasi pasukan Mongolia masuk dalam skenario rapi Arya Wiraraja dan Raden Wijaya. Pasukan Mongoa pun angkat kaki dari tanah Jawa.